Bahasa Dalam Diskursus Perubahan Sosial
Penulis: Abdullah, SKM
Aktif di Institute Transformations Sosial and Humanity
(Intras) Makassar
Abdullah, SKM |
Bahasa merupakan bagian yang inheren dalam menentukan wacana diskursus/paradigma perubahan. Dalam konteks sosial banyak interpretasi yang muncul dari berbagai kalangan masyarakat dalam memaknai bahasa dalam kaitannya dengan wacana perubahan sosial. Dalam realitas sosial sering kali menjadi ruang interpretasi dan pertarungan wacana dalam menganalisis realitas masyarakat.
Bahasa menjadi perangkat penting dalam mempengaruhi setiap orang dalam membentuk nalar dalam menganalisis dan membedah realitas sosial. Wacana dan diskursus selalu mereproduksi kuasa dan kepentingan, nalar kita selalu dibentuk bukan nalar pembentuk dalam membedah atau membongkar keterselubungan bahasa dan kuasa yang tersembunyi dalam mempengaruhi nalar kita untuk melihat sesuatu. Michel Foucault mengatakan kuasa selalu mereproduksi pengetahuan dan kepentingan.
Dalam konteks sosial kita selalu terjebak, karna medan sosial selalu menjadi pertarungan kepentingan dalam membentuk opini publik, legitimasi nalar instrumental menjadi alat pamungkas dalam merasionalisasikan kepentingan. Selalu menafikan problem yang mendasar dalam realitas sosial masyarakat. Kita tidak bisa menafikan pengaruh bahasa mereproduksi kuasa dalam membangun pencitraan sosial. Bagaimana peranan media massa menjadi salah satu ikon dalam membentuk tatanan sosial baru bagi masyarakat.
Peran media
sangat signifikan dalam membongkar tatanan masyarakat diera abad ke-21,
seolah-olah kita menafikan tanggung jawab sosial manusia dalam melawan hegemoni
pengetahuan dalam mempengaruhi paradigma perubahan sosial. Agak kesulitan kalau
kita tidak punya metodologi yang kontekstual dalam melacak akar sejarah dan
perkembangan sosial masyarakat. Perkembangan zaman selalu berubah dari hari
kehari, maka diskursus perubahan sosial pun selalu berubah seiring problem
sosial masyarakat semakin kompleks. Artinya kita melihat kemungkinan dan
peluang bagaimana relasi bekerjanya kuasa, pengetahuan dan ideologi.
Setiap kehadiran ideologi tidak lepas dari kepentingan dalam memapankan dirinya, apakah ideologi islam, sosialisme, marxisme dan kapitalisme. Analisis kita berbeda dengan model gerakan Marxisme Karl Marx hanya bertumpu pada tataran ideologi, politik dan ekonomi, tidak melihat relasi kerja ideologi dan bahasa. kerangka analisis Karl Marx selalu oposisi biner, justru melahirkan pertarungan kelas borjuasi direpresentasi ideologi kapitalisme dan kelas proletar direpresentasi idelogi sosialisme.
Setiap kehadiran ideologi tidak lepas dari kepentingan dalam memapankan dirinya, apakah ideologi islam, sosialisme, marxisme dan kapitalisme. Analisis kita berbeda dengan model gerakan Marxisme Karl Marx hanya bertumpu pada tataran ideologi, politik dan ekonomi, tidak melihat relasi kerja ideologi dan bahasa. kerangka analisis Karl Marx selalu oposisi biner, justru melahirkan pertarungan kelas borjuasi direpresentasi ideologi kapitalisme dan kelas proletar direpresentasi idelogi sosialisme.
Dalam konteks
kekinian analisis marxisme agak kesulitan dijadikan landasan gerakan, sebab
pertarungan dan dominasi kelas bukan hanya bertumpu pada ideologi, ekonomi dan
politik menyebabkan konflik kelas. Ternyata kapitalisme pun tidak ketinggalan
wacana dan metodologi dalam mengamati dinamika perkembangan dan perubahan
zaman. Ranah sosial, politik, budaya sebagai identitas sudah terperangkap dalam
jejaring ideologi kapitalisme dalam membentuk citra dan prestise sebagai tanda
sosial. Jadi apa yang menjadi motivasi dan harapan perubahan sosial masyarakat
dimasa akan datang? Saya bukan pesimis dengan kondisi masyarakat, akan tetapi
setidaknya gagasan dan pikiran saya untuk mencoba merefleksikan kegelisahan
kondisi sosial masyarakat.
Kehadiran zaman pencerahan (renaisans) abad ke-19 sebagai ukuran kemajuan barat dalam mengangkat martabat manusia dari cengkraman dominasi kelompok bangsawan, tuan tanah, gereja yang menindas, penuh dengan mitos-mitos yang irasional. kebangkitan peradaban barat justru menginjeksi spirit untuk bangkit dalam melawan dominasi gereja yang irasional dan tidak manusiawi. kebangkitan barat mendapatkan momentum dengan kehadiran renaisains, maka mulai muncul para filosof, ilmuwan dalam menciptakan teknologi dan industri modern secara besar-besaran didataran Eropa dan Amerika.
Kehadiran zaman pencerahan (renaisans) abad ke-19 sebagai ukuran kemajuan barat dalam mengangkat martabat manusia dari cengkraman dominasi kelompok bangsawan, tuan tanah, gereja yang menindas, penuh dengan mitos-mitos yang irasional. kebangkitan peradaban barat justru menginjeksi spirit untuk bangkit dalam melawan dominasi gereja yang irasional dan tidak manusiawi. kebangkitan barat mendapatkan momentum dengan kehadiran renaisains, maka mulai muncul para filosof, ilmuwan dalam menciptakan teknologi dan industri modern secara besar-besaran didataran Eropa dan Amerika.
Teknologi menjadi
kekuatan yang ampuh bagi barat dalam menguasai dunia, artinya logika kekuatan
industri menjadi alat yang strategis dalam menguasai hasil kekayaan alam di
negara-negara berkembang. Dunia seolah-olah terasa hampa akibat hantaman
gelombang dahsat bernama modernitas mendekonstruksi/membongkar sana-sini tanpa
merekonstruksi kembali nilai/norma sosial.
Modernitas belum
berakhir dalam menjajah ranah sosial, politik, budaya, agama. Alienasi dan
keterasingan manusia dari dimensi sosial belum menandakan tanda-tanda akan
berakhirnya hegemoni dan domonasi modernitas. Hegemoni dan dominasi era
modernitas belum dituntaskan dalam menyelesaikan persoalan. Post modernitas
muncul untuk merayakan berakhirnya hegemoni dan dominasi kapitalisme, persoalan
masyarakat belum tuntas pada era modernitas.
Pertanyaannya
apakah kehadiran post modernisme adalah berakhirnya proyek modernitas ataukah
bagian dari proyek modernitas yang belum dituntaskan/disempurnakan, ataukah
pemutusan mata rantai secara total dari siklus modernitas, ataukah metamorfosis
dari sintesa bingkai gerakan kapitalisme neo-liberalisme mencoba merumuskan
agenda baru penjahan. Walaupun misi post modernisme adalah pembebasan manusia
dari cengkraman hegemoni dan dominasi.
Kematian makna
sosial dalam era post modernitas seolah-olah merefleksikan berakhirnya dominasi
modernitas yang cenderung mengagungkan rasionalitas instrumental sebagai alat
legitimasi ilmu pengetahuan barat dalam mendominasi kehidupan manusia.
Standarisasi nilai/norma sebagai identitas dalam ranah sosial masyarakat tidak
lagi menjadi homogen melainkan heterogenitas nilai/norma yang harus dianut oleh
masyarakat.
Semua identitas kelokalan masyarakat memiliki nilai kearifan berdasarkan tradisi dan budaya masyarakat setempat. Berbeda dengan era modernitas yang cenderung mengabaikan pluralitas nilai/norma sosial masyarakat. Artinya tidak ada lagi klaim narasi-narasi besar yang harus dianut oleh masyarakat. Post Modernisme adalah sebuah terobosan gagasan baru intelektualitas untuk merefleksikan kebuntuan ilmu pengetahuan era modernitas yang cenderung mekanistik dan deterministik dalam memandang keabsahan kebenaran.
Semua identitas kelokalan masyarakat memiliki nilai kearifan berdasarkan tradisi dan budaya masyarakat setempat. Berbeda dengan era modernitas yang cenderung mengabaikan pluralitas nilai/norma sosial masyarakat. Artinya tidak ada lagi klaim narasi-narasi besar yang harus dianut oleh masyarakat. Post Modernisme adalah sebuah terobosan gagasan baru intelektualitas untuk merefleksikan kebuntuan ilmu pengetahuan era modernitas yang cenderung mekanistik dan deterministik dalam memandang keabsahan kebenaran.
Paradigma
Cartesianisme inilah yang melahirkan ketidak objektifan ilmu pengetahuan dalam
melihat kebenaran, seolah-olah Barat menjadi sentrum pengetahuan bagi Timur.
Nalar instrumental inilah yang membentuk pencitraan dan bagaimana cara kerja
ilmu pengetahuan positifistik dalam ranah sains, sosial, budaya, agama,
pendidikan dan ekonomi sangat terasa implikasinya bagi manusia, lingkugan dan
kehidupan sosial lainnya. Sekiranya kita bukan menolak atau menerima kemajuan
modernitas, akan tetapi yang kita tolak adalah ketidak objektifan paradigma
modernitas barat mengklaim keberadaan Timur itu kolot, tidak modern dan tidak
gaul. Disinilah cara kerja pengetahuan dan kuasa dalam membentuk dan
mempengaruhi cara berpikir kita?.
Akan tetapi kehadiran post modernitas adalah jalan baru dalam meretas kebuntuan-kebuntuan yang belum diselesaikan era modernitas, akan tetapi disisi lain kehadiran post modernisme juga membingungkan bagi kita? Walaupun posmo sendiri tidak jelas keberadaannya, semua identitas sosial diakomodir. Dalam ranah sosial menjadi problem kadangkala hal-hal yang privat dan publik pun tidak jelas batasnya, artinya mana yang perlu di pamerkan dan mana yang harus dirahasiakan. Kadangkala kita merasa eforia atas kehadiran posmo semua harus dirayakan biar yang privatpun harus dipamerkan. Masyarakat kita sering kebingungan mana mesti menjadi sandaran dalam kehidupan apakah hal-hal yang religius atau Media massa sebagai sandaran kehidupan.
Akan tetapi kehadiran post modernitas adalah jalan baru dalam meretas kebuntuan-kebuntuan yang belum diselesaikan era modernitas, akan tetapi disisi lain kehadiran post modernisme juga membingungkan bagi kita? Walaupun posmo sendiri tidak jelas keberadaannya, semua identitas sosial diakomodir. Dalam ranah sosial menjadi problem kadangkala hal-hal yang privat dan publik pun tidak jelas batasnya, artinya mana yang perlu di pamerkan dan mana yang harus dirahasiakan. Kadangkala kita merasa eforia atas kehadiran posmo semua harus dirayakan biar yang privatpun harus dipamerkan. Masyarakat kita sering kebingungan mana mesti menjadi sandaran dalam kehidupan apakah hal-hal yang religius atau Media massa sebagai sandaran kehidupan.
Reproduksi kuasa
dan kepentingan dalam media sangat luar biasa dalam membentuk lingkaran setan
yang tidak jelas dalam mempengaruhi khalayak. Dalam aspek religius media pun
tidak ketinggalan untuk menawarkan hal-hal spiritualitas baru yang menyenangkan
batin seperti kursus kilat sholat, puasa, berbusana dll.
1.
Hilangnya Tapal Batas Antara Ruang Publik dan
Privat
Munculnya ruang
publik di Eropa sekitar abad ke-17 dan ke-18 dalam menentang otoritas
absolutisme negara dalam sejarah Eropa Modern. Kelahiran ruang publik tidak
lepas dari dominasi kelompok borjuasi dalam merebut dominasi dan opini publik.
Sebagai bentuk ekspresi, dan kebebasan berpendapat dalam menyampaikan
kepentingan kaum borjuis terhadap negara dengan adanya legitimasi kebebasan.
Maka aktifitas dan informasi tentang fungsi negara harus transparan dan terbuka
kepada publik, agar negara dibawah pengawasan yang ketat bagi publik.
Efek dari era
modernisasi adalah memisahkan antara ruang publik dan privat, yang berkaitan
dengan ruang publik hanyalah persoalan-persoalan yang berkaitan dengan publik
seperti politik, ekonomi dan sebagainya. seolah-olah memisahkan dan menempatkan
persoalan politik menjadi akar persoalan dalam ranah sosial yang harus
diperbincang secara rasional dan kritis bagi publik. Sementara ruang privat
hanya di identikan dengan ruang kepolosan/kekolotan seperti ras, agama, gender,
suku merupakan persoalan privat yang harus diselesaikan dalam ruang privat
pula.
Dari dikotomi ruang diatas, maka akan membawa musnahnya perbedaan ruang publik dan privat ketika dikaitkan kedalam ruang sosial. Pemilahan ruang privat-publik yang liberal juga memperoleh kritikan yang tajam dari pemikiran Jurgen Habermas tentang ruang Public Sphere (ruang publik).
Dari dikotomi ruang diatas, maka akan membawa musnahnya perbedaan ruang publik dan privat ketika dikaitkan kedalam ruang sosial. Pemilahan ruang privat-publik yang liberal juga memperoleh kritikan yang tajam dari pemikiran Jurgen Habermas tentang ruang Public Sphere (ruang publik).
Ruang publik
merupakan wahana pertarungan kontestasi bagi kelompok borjuis dalam
membicarakan kepentingan individu maupun kelompok sosial lain. Hal tersebut
menandakan begitu kuat dominasi kelompok borjuasi dalam melawan kekuatan negara
dan masyarakat. Habermas mengagungkan ruang publik liberal resmi sebagai
indikator dalam menyelesaikan kepentingan kelompok borjuis terhadap kebijakan
otoritarianisme negara. Disisi lain ruang publik liberal menciptakan
ketidakadilan dan kesenjangan sosial, yang seolah-olah persoalan itu dianggap
persoalan pribadi atau privat tidak boleh diselesaikan dalam ruang publik.
Memberikan akses informasi kepada masyarakat menyangkut akuntabilitas dan
transparansi, dan negara bertanggung jawab terhadap kepentingan sebagian warga
negara.
Gagasan Habermas
tersebut terlalu menganulir kepentingan bersama yang harus ditahu oleh publik,
padahal itu adalah strategi bagi kelompok borjuis dalam melemahkan kekuatan
negara, dan mengatasnamakan kepentingan bersama lebih penting ketimbang
kepentingan pribadi. Seolah-olah Habermas melihat relasi persoalan hanya pada
tataran struktural yang menjadi akar permasalahan sosial kemasyarakat. Padahal
problem tersebut tidak lepas dari persoalan sosial, budaya, agama.
Disinilah letak kelemahan Habermas yang terlalu mengidealisasikan ruang publik liberal sebagai ruang publik resmi, dan mengabaikan bentuk ruang lainnya yang non-liberal, non-borjuis, sama-sama memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berkompetisi. Kajian Habermas tentang ruang itu sesuatu yang materi, statis dan tidak dinamis. Henri Levebvre mengatakan ruang adalah sesuatu yang dinamis, direkayasa, dimaknai, dll. Jadi ruang bukan lagi sesuatu yang mati, melainkan imajiner, simbolik yang bisa dimaknai, direprdoduksi secara terus-menerus oleh relasi-relasi pengetahuan dan kuasa.
Bagaimana kekuatan bahasa dalam mereproduksi relasi tanda dan kuasa, sehingga sesuatu itu bisa merubah bentuk dan fungsi berdasarkan kepentingan. Katakanlah seksualitas dulu dianggap hal yang suci yang harus dirahasikan dan hanya dikonsumsi dalam wilayah privat. Akan tetapi dalam konteks sekarang seksualitas bukan lagi sesuatu yang tabu yang harus dijaga dan dirahasiakan, melainkan hal lumrah dan bisa dibicarakan dalam konteks apapun. Artinya ada permainan relasi kuasa yang mereproduksi sehingga kata seksualitas bisa melampaui ruang dan waktu.
Disinilah letak kelemahan Habermas yang terlalu mengidealisasikan ruang publik liberal sebagai ruang publik resmi, dan mengabaikan bentuk ruang lainnya yang non-liberal, non-borjuis, sama-sama memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berkompetisi. Kajian Habermas tentang ruang itu sesuatu yang materi, statis dan tidak dinamis. Henri Levebvre mengatakan ruang adalah sesuatu yang dinamis, direkayasa, dimaknai, dll. Jadi ruang bukan lagi sesuatu yang mati, melainkan imajiner, simbolik yang bisa dimaknai, direprdoduksi secara terus-menerus oleh relasi-relasi pengetahuan dan kuasa.
Bagaimana kekuatan bahasa dalam mereproduksi relasi tanda dan kuasa, sehingga sesuatu itu bisa merubah bentuk dan fungsi berdasarkan kepentingan. Katakanlah seksualitas dulu dianggap hal yang suci yang harus dirahasikan dan hanya dikonsumsi dalam wilayah privat. Akan tetapi dalam konteks sekarang seksualitas bukan lagi sesuatu yang tabu yang harus dijaga dan dirahasiakan, melainkan hal lumrah dan bisa dibicarakan dalam konteks apapun. Artinya ada permainan relasi kuasa yang mereproduksi sehingga kata seksualitas bisa melampaui ruang dan waktu.
Hilangnya batas
antara ruang privat dan publik menandakan tidak adanya kejelasan terhadap objek
permasalahan. Pada era modernitas perbincangan kita tentang ruang itu jelas?
Akan tetapi dalam konteks kekinian kita agak kesulitan untuk memetakan mana
yang privat dan publik. tidak ada lagi dikotomi yang memisahkan dari ruang
tersebut melainkan menjadi heterogen. Hilangnya garis demarkasi menandakan
bagaimana relasi kuasa bekerja dalam menerobos batas-batas ruang dan waktu.
Artinya tidak ada lagi dikotomi, melainkan heterogenitas seiring perkembangan
ruang dan waktu, memaksa kita untuk menafsirkan dan memaknai secara kontekstual
seiring perubahan paradigma ruang tersebut. Kita tidak lagi memandang suku,
agama, ras, sesuatu yang privat melainkan bermetamorfosis menjadi publik.
2.
Agama Sebagai Spirit Perubahan Sosial
Masihkah agama
berpihak kepada kelompok mustad’afin dalam memberikan sebuah kekuatan kesadaran
untuk melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan, penindasan. Semesti setiap
pemeluk agama memiliki tangggung jawab sosial dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan sosial dan politik. buakankah agama memiliki prulalitas
teologi dalam setiap kelompok sosial. Kita seringkali berdebat untuk mencari
claim kebenaran setiap kelompok mazhab mana yang paling benar dalam menafsirkan
bahasa Tuhan.
Persoalan untuk
mencari klaim kebenaran dan otentisitas dari setiap mahzab tidak lagi menarik
untuk dipersoalkan, melainkan apa yang mesti dilakukan dalam membenahi
kelemahan agar kita bersatu dalam melawan penindasan dan ketidakadilan.
kehadiran agama bukan untuk Tuhan melainkan untuk manusia, kehadiran agama
dimuka bumi tidak lain adalah menjadi sandaran/pegangan hidup yang harus
diyakini bagi umat beragama.
Setiap agama atau kelompok mazhab memiliki penjelasan teologis dan sosiologis yang berbeda dalam menafsirkan bahasa Tuhan berdasarkan teks dan konteks. sebab bahasa kitab-kitab suci agama sangat universal dan filosofis dalam menjelaskan keberadaan Tuhan, Manusia dan Alam. sedangkan dimensi antropologi, dan sosiologis menjelaskan tentang manusia, alam dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. sebab agak kerepotan kalau kita hanya menafsirkan secara tekstual teks-teks kitab suci mengandung makna yang universal,filosofis untuk ditafsirkan. ketika si A, dan B menafsirkan teks-teks alqur'an, maka hasilnya antara si A, B pasti akan berbeda sebab akan terjadi pereduksian bahasa, artinya tidak ada klaim kebenaran penafsiran tunggal bagi manusia, melainkan kebenaran tunggal hanya dimiliki Tuhan dalam menjelaskan teks alqur'an sesuai dengan bahasanya secara tepat.
Setiap agama atau kelompok mazhab memiliki penjelasan teologis dan sosiologis yang berbeda dalam menafsirkan bahasa Tuhan berdasarkan teks dan konteks. sebab bahasa kitab-kitab suci agama sangat universal dan filosofis dalam menjelaskan keberadaan Tuhan, Manusia dan Alam. sedangkan dimensi antropologi, dan sosiologis menjelaskan tentang manusia, alam dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. sebab agak kerepotan kalau kita hanya menafsirkan secara tekstual teks-teks kitab suci mengandung makna yang universal,filosofis untuk ditafsirkan. ketika si A, dan B menafsirkan teks-teks alqur'an, maka hasilnya antara si A, B pasti akan berbeda sebab akan terjadi pereduksian bahasa, artinya tidak ada klaim kebenaran penafsiran tunggal bagi manusia, melainkan kebenaran tunggal hanya dimiliki Tuhan dalam menjelaskan teks alqur'an sesuai dengan bahasanya secara tepat.
Pergulatan
sejarah itu tidak lepas dari kuasa dan kepentingan kelompok mana yang memiliki
kekuatan massa, dialah menjadi kelompok yang berkuasa. Bentuk praktis teologi
seperti apa yang kita miliki sebagai bentuk manifestasi dari sebuah keyakinan?
Bukankah teologi juga memiliki cita-cita masa depan baik kelompok mazhab Sunni,
Syi’ah, Mutazilah, Asi’ariyah, Ahmadiyah, NU, Muhammadiyah dan sebagainya.
Dalam tataran praktis kita agak kesulitan untuk menafsirkan dan membentuk
teologi yang dinamis dan komprehensif dalam menjawab tantangan dan dinamika
kehidupan manusia.
Hassan Hanafi dalam bukunya berjudul “Dari Teologi Statis Irasional ke Teologi Progresif Anarkis” menawarkan cara pandang baru dalam model keberagamaan. Upaya menerobos batas yang selama ini terpenjarakan oleh sejarah masa lalu. Artinya ada lompotan berpikir rasional dalam melihat masa depan. Karna selama ini kebekuan nalar bentukan yang selalu mendominasi cara berpikir. Oleh karena itu tidak lagi melihat sesuatu cenderung irasional, takhayul, bid’ah, kafir, sesat, fundamental, liberal akan tetapi kita melihat problem sosial masyarakat secara rasional dan kritis. Karna perubahan zaman tersebut menuntut pembenahan paradigma berpikir dan beragama yang terbuka dan holistik.
Hassan Hanafi dalam bukunya berjudul “Dari Teologi Statis Irasional ke Teologi Progresif Anarkis” menawarkan cara pandang baru dalam model keberagamaan. Upaya menerobos batas yang selama ini terpenjarakan oleh sejarah masa lalu. Artinya ada lompotan berpikir rasional dalam melihat masa depan. Karna selama ini kebekuan nalar bentukan yang selalu mendominasi cara berpikir. Oleh karena itu tidak lagi melihat sesuatu cenderung irasional, takhayul, bid’ah, kafir, sesat, fundamental, liberal akan tetapi kita melihat problem sosial masyarakat secara rasional dan kritis. Karna perubahan zaman tersebut menuntut pembenahan paradigma berpikir dan beragama yang terbuka dan holistik.
Sesungguhnya kita
beragama bukan karena paksaan orang lain akan tetapi kita sadar akan agama yang
memberikan harapan dan kepastian masa depan. tidak relevan saya kira untuk
mencari pembenaran mana yang benar dan tidak benar/ selamat dan tidak selamat
menuju surga atau akhirat. yang jelas dari setiap agama langit memiliki cita
dan tujuan dalam mengantarkan setiap umatnya pada jalan kebaikan dan
keselamatan, setiap pilihan memiliki konsekuensi logis. apapun teologi dan
keyakinan yang kita yakini kita konsisiten dalam menjalankan dan mengamalkan
nilai-nilai ajaran agama seperti kebaikan, cinta, kasih sayang, kebenaran,
keadilan dan anti penindasan. [*]
Post a Comment