Header Ads

Al-Maidah, Ahok Dan Keterlibatan Putra NTB



Muhammad Isnaini AR

Banyak orang yang bersalah tetapi ia mengaku benar juga; dan di waktu dikatakan dia bersalah dia berkata dengan angkuhnya: "mana? Saya benar!" Inilah yang banyak mengacaukan masyarakat. Kita harus berani terus terang, jujur. Jangan kita mengatakan berani kalau sebenarnya kita penakut. Mr. Sjafruddin Prawiranegara.

Energi bangsa ini terkuras oleh ucapan 1 manusia yang bernama AHOK. Patahana Gubernur DKI Jakarta ini terkenal dengan bahasa-bahasanya yang sangat kasar, tidak lazim di gunakan oleh pemimpin-pemimpin yang hidup dengan budaya ketimuran dimana sangat mengedepankan sopan santun.

Penulis tidak ingin masuk dalam ranah demikian, sebab masih sangat besar ruang debatibel jika membahas tentang etika kepemimpinan walau etika kepemimpinan harus mengedepankan metaetika. Jika mengacu pada filsafat analitis misalnya bahwa "baik belum tentulah benar."
Memelihara babi dan anjing adalah baik tapi belum tentu benar. Dogma Islam mengatakan kedua binatang tersebut adalah haram.

Puncak ucapan AHOK sebagaimana video yang beredar luas di media sosial Facebook maupun YouTube tentang Surah ALMAIDAH ayat 51, sangatlah menyakiti perasaan sebagian besar Umat Islam. 

Negara dalam hal ini kepolisian Republik Indonesia sebagai institusi penegak hukum terkesan lambat, sehingga menyebabkan akumulasi kekecewaan Umat Islam terhadap Negara dan akulamasi kekecewaan tersebut menggerakan dan melahirkan persatuan Umat Islam secara nurani dalam menuntut keadilan terhadap Negara untuk memenjarakan AHOK atas ucapannya yang di anggap dan di duga menistakan Agama Islam.

Soal ucapan AHOK, MUI pun berpendapat yang dimana pendapat MUI sesungguhnya lebih tinggi dari Fatwa MUI. Bahwa apa yang diucapkan oleh AHOK dalam video tentang Surah ALMAIDAH ayat 51 adalah bentuk penistaan terhadap Agama Islam. Negara pun lambat merespon Pendapat MUI, Umat Islam pun membentuk suatu koalisi pengawal pendapat MUI dengan menggelar aksi damai menuntut segera tangkap AHOK sang penista agama Islam.

Tidak saja di DKI jakarta, tapi di hampir seluruh daerah ribuan umat Islam turun ke jalan menyuarakan aspirasi mereka menuntut AHOK segera di tangkap. Untuk di DKI Jakarta sendiri, sekitar 2 juta (masih debatibel) massa aksi mengepung Istana Negara. Tujuan Mereka jelas, Negara tidak boleh melindungi sang penista Agama Islam yaitu AHOK.! Itu tuntutan mereka, penjarakan AHOK.!

Jika tuntutan tersebut di atas tidak terpenuhi, sebagaimana informasi yang terus bergulir dan berkembang bahwa umat Islam akan kembali melakukan aksi turun kejalan tentu dengan kekuatan massa yang lebih besar. Dengan berkembang informasi aksi yang lebih besar, ternyata cukup membuat sang Presiden (yang pada waktu pendemo mendatangi Istana Negara, sang Presiden malah meninggalkan Istana Negara demi meninjau bandara) sangat kerepotan. 

Presiden sibuk mengunjungi para Ulama, mengundang pesantren-pesantren dan ormas-ormas Islam ke Istana Negara, mendatangi Ormas Islam terbesar yaitu NU dan Muhammadiyah, termasuk cek pasukan khusus TNI dan POLRI sambil melontarkan bahasa "Mereka Pasukan Siap Perang" terhadap ancaman kebinekaan. 

Soal bahasa siap perang ini yang di lontarkan oleh Presiden, banyak spekulasi dan analisis yang berkembang bahwa Presiden ketakutan lalu mencoba mengintimidasi umat Islam dengan isyarat bahwa Negara sudah siap berhadapan dengan para pendemo. Entahlah, sebagaimana bahasa Nusron Wahid jika penulis boleh pinjam dan merubah subyeknya "hanya presiden yang mengetahui maksud presiden." Dan biarkan Presiden terus melakukan safari politik dan Umat Islam terus memperjuangkan rasa keadilan berdasarkan keyakinan dan ajaran luhur agama sampai tuntas.

Keterlibatan Putra NTB.

Bagi penulis, ada hal menarik yang terjadi dalam kasus AHOK ini. Entah ini suatu kebetulan semata atau sebuah isyarat, kepastiannya hanya ALLAH SWT yang memahami secara utuh. Namun setidaknya, bagi penulis tidak ada sesuatu yang kebetulan.

Dalam pusaran kasus AHOK, ada putra terbaik NTB (tidak dalam rangka menafikan peran serta ribuan umat Islam lainnya) yang terlibat tentu dalam dimensi yang berbeda-beda. Pertama, sebagai pengunggah pertama (diduga)  Video di Fabecook, lelaki yang berprofesi sebagai dosen ini bernama Buni Yani. Video yang di unggah oleh Buni Yani dalam Akun facebooknya yang bernama Buni Yani ternyata mampu menimbulkan respon melampaui yang mampu di pikirkan oleh si Buni Yani. Respon atas video tersebut adalah persatuan dan kesatuan umat Islam tanpa memandang golongan dan latarbelakang organisasi keislaman masing-masing. 

Buni Yani dalam hal ini dapatlah dikatakan sebagai tokoh sentral penggerak kesadaran umat Islam. Buni Yani sejajar dengan pemuda pencetus Revolusi Mesir yang menumbangkan Presiden Diktator Husni Mubarak hanya dengan mengunggah status di Twitter. Buni Yani tiba-tiba menjadi manusia fenomenal abad digital dalam konteks ke-Indonesiaan. Walau sekarang atas perbuatannya tersebut Buni Yani di laporkan sebagai pihak pembuat kegaduhan oleh para relawan AHOK di Bareskrim Mabes Polri, tetap saja tidak mampu melunturkan nilai sentralitas peran Buni Yani dalam pusaran kasus AHOK. 

Masyarakat maupun ulama dan tokoh-tokoh bangsa relatif membenarkan tindakan Buni Yani bahkan lebih cenderung mengatakan negara ini aneh, AHOK yang menimbulkan kegaduhan dan menistakan agama Islam, kok malah Buni Yani yang ingin di jadikan tersangka. Yang jelas, Buni Yani tidak pernah berpikir bahwa dengan dia mengunggah video AHOK di Facebook akan membuat dia menjadi fenomenal sebagaimana yang terjadi sekarang ini.

Kedua adalah Sirra Prayuna. Sirra Prayuna sudah termasuk dalam deretan pengacara ternama Nasional. Banyak kasus-kasus politik yang dia tangani. Tak heran wajahnya menghiasi media nasional maupun media lokal. Sirra Prayuna merupakan salah satu TIM pengacara Jokowi-JK saat terjadi sengketa Pemilu 2014 lalu. Sirra Prayuna juga merupakan politisi PDI-Perjuangan dan pula Ketua Umum IKA (IKATAN KELUARGA ALUMNI) Universitas Mataram. Saat AHOK sebagai terlapor dalam kasus penistaan agama Islam diperiksa di Bareskrim Mabes Polri, hari Senin tanggal 7 November 2016, Sirra Prayuna muncul di depan Media memberikan keterangan Pers sebagai Ketua Tim Pengacara AHOK. Namun ternyata, spontan respon masyarakat atas sikap Sirra Prayuna memilih mendampingi sebagai pengacara AHOK, relatif negatif. Masyarakat NTB umumnya dan keluarga besar UNRAM khususnya, menyayangkan sikap Sirra Prayuna. 

Di media sosial Facebook tiba-tiba menjadi ramai membahas tentang Sirra Prayuna sebagai pengacara AHOK. Sirra Prayuna mencoba memberikan klarifikasi baik melalui media lokal maupun melalui akun facebooknya. Dalam klarifikasinya di media lokal, Sirra Prayuna mengatakan bahwa apa yang dilakukannya, menjadi pengacara AHOK merupakan perintah partai. 

Lagi-lagi klarifikasi yang dilakukan oleh Sirra Prayuna terkait dirinya menjadi pengacara AHOK tidak mampu meredam sikap kontra masyarakat. Masyarakat (kontra) tetap menilai apa yang di lakukan oleh Sirra Prayuna tentu sangat menyakiti perasaan masyarakat NTB yang melakukan protes terhadap ucapan AHOK. Sirra Prayuna di nilai lebih mengedepankan, mementingkan dan mendengarkan Perintah Partai ketimbang Suara Umat Islam. 

Dengan menjadinya Sirra Prayuna sebagai pengacara AHOK sama saja Sirra Prayuna sedang menyakiti perasaan Umat Islam yang sedang tersakiti oleh Ucapan AHOK.
Terkait dengan pilihan Sirra Prayuna menjadi pengacara AHOK lalu di lihat dari sudut pandang yang bersangkutan merupakan Ketua Umum IKA UNRAM, mantan Ketua Umum IKA UNRAM sebelum Sirra Prayuna, yaitu Suryadi Jaya Purnama mengatakan dalam media lokal bahwa keterlibatan Sirra Prayuna  membela AHOK, secara formal keorganisasian memang tidak jadi masalah terhadap IKA. Tetapi secara substansi dan moral, ini sangat menyakiti masyarakat NTB. Termasuk mayoritas Alumni Unram yang sangat tersinggung dengan ucapan AHOK.

Ini memang bukan pelanggaran organisasi tapi ini menunjukan ketidaksensitifan yang bersangkutan terhadap psikologis masyarakat. Termasuk pelanggaran etika dan moral keagamaan. Selanjutnya tergantung mayoritas pengurus untuk mengganti atau tidak Ketua Umum IKA Unram.

Akankah kasus AHOK ini memiliki efek domino terhadap posisi Sirra Prayuna sebagai Ketua Umum IKA UNRAM.? Tentu penulis tidak dalam kapasitas menilai yang demikian. Yang jelas, Sirra Prayuna adalah putra NTB yang sedang dalam pusaran kasus AHOK. Kita sama-sama tau, bahwa hal ini yang sedang di Hadapi Sirra Prayuna pernah terjadi walau dalam kasus yang berbeda. 

Setidaknya penulis ingin mengatakan, menjadi pengacara koruptor tidak membuat sang pengacara menjadi koruptor, pengacara teroris tidak membuat sang pengacara menjadi teroris. Hal demikian bagi penulis, sesungguhnya lazim terjadi bagi seorang pengacara. Pengacara berhak mendampingi siapapun dan selalu di tuntut untuk profesional tanpa memandang kasus apa yang di sangkakan kepada kliennya, walau pengacara juga berhak menolak mendampingi seseorang atas kasus yang sedang dihadapi. Semua kembali kepada diri pengacara. Pada pokoknya, apapun kasusnya seseorang berhak di dampingi pengacara.

Lalu yang ketiga adalah Dr. M. Husni Mu'adz. Dosen FKIP UNRAM dan mantan Dekan FKIP UNRAM ini biasa di sapa dengan Abah Husni. Abah Husni adalah Pria yang selalu tampil sederhana dan bersahaja, menyelesaikan S2 dan S3 nya di Ohio University dan Arizona University. Kalangan Akademis, tokoh masyarakat maupun mahasiswa sangat mengenal beliau. 

Di kediaman dinasnya merupakan tempat diskusi yang paling menyenangkan bagi berbagai kalangan menghabiskan malam sampai subuh. Saat Mahasiswa Abah Husni juga menghabiskan waktu kemahasiswaan di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Abah Husni juga di kenal sebagai intelektual produktif, bukunya yang berjudul "Anatomi sistem sosial" termasuk buku best seller. Beliau merupakan Ahli Bahasa (Linguistik) maka tak heran beliau selalu menjadi pembicara internasional dan dosen tamu di beberapa universitas ternama luar negeri. Dan dalam Kasus AHOK soal penistaan terhadap Agama Islam, Abah Husni di tunjuk sebagai Saksi Ahli.

Tentu Rakyat NTB umumnya dan Umat Islam NTB khususnya patut berbangga atas tampilnya putra-putra NTB dalam persoalan yang menyita perhatian Nasional bahkan perhatian dunia internasional. Putra NTB setidaknya telah tampil di skala nasional dalam kapasitas keilmuan masing-masing. Akan tetapi, kebanggaan tersebut penuh harap. Harap akan rasa keadilan yang masihkah mungkin bisa difasilitas oleh Negara. Sehingga hukum sebagai panglima tertinggi dalam menjamin ketertiban dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, benar-benar tampil sesuai ekspektasi kita lalu bergerak sesuai dengan dogma, baik dogma hukum, dogma sosial, dogma kemanusiaan maupun dogma keagamaan.

Umat Islam Indonesia masih butuh dan perlu terus berjuang untuk mewujudkan keadilan tersebut. Melihat sikap negara (kepolisian) yang cenderung sangat cepat dan sigap menyelesaikan kasus kecil dan kasus lain turunan dari kasus AHOK ketimbang menyelesaikan sesegera mungkin kasus dasar yaitu kasus AHOK yang terkesan sangat bertele-tele. 

Melihat kondisi umat Islam Indonesia yang sedang memperjuangkan keadilan demi kesucian agama Islam, penulis teringat dengan kutipan pidato seorang tokoh politik Masyumi "Waktu Tahun 1946 saya selalu berkata-kata di dalam rapat-rapat umum, bahwa perjuangan kita adalah perjuangan yang berat, perjuangan yang lama, oleh karena itu kita harus dapat melihat lebih jauh dari apa yang dilihat sekarang ini. Perjuangan kita perjuangan yang lama, yang meminta kesabaran dan waktu yang panjang", Muhammad Natsir.

Wallahuallam..Semoga kita tetap dalam lindungan ALLAH SWT dan Pemeluk Islam selalu dapat menampilkan wajah Islam yang Rahmatan Lil Alamin..Amiiinnn Yaaa Rabb..

   Penulis adalah Mahasiswa Hukum UNRAM dan Pengurus DPD I KNPI NTB

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.