Indonesia Butuh Rangking, Siswa Rendah Potensi
Bunyamin (Beny Barra) Kepala Biro Dompu Jerat Group |
Bulan
ini, menjelang ujian semester ganjil tentu sangat menegangkan bagi siswa tak
ketinggalan pun para orang tua. karena saatnya mengejar rangking dengan
berkompetisi dan saling membeda-bedakan. Yang kalah pasti keluar dan
terpinggirkan sedangkan yang menang akan maju terus secara individual. Pada
kenyataannya, sistem ranking di Indonesia membuat siswa tidak dapat
mengembangkan potensi diri. Sebab, sekolah hanya menilai siswa dari segi
akademisnya saja. Peringkat membuat setiap siswa dicap berdasarkan pintar atau
tidaknya.
Masalahnya,
pintar atau tidaknya siswa dilihat melalui hasil belajar yang dilambangkan
dengan angka-angka, bukan pada proses bagaimana siswa memahami suatu materi
yang diajarkan. Sistem ranking yang "notabene" menyamaratakan
kemampuan siswa juga berdampak dalam hal evaluasi terhadap hasil belajar
mereka.
Soal-soal
yang diujikan biasanya tidak terlalu sensitif dalam menguji kemampuan
masing-masing siswa. Karena kemampuan mereka dianggap sama rata, soal yang
diberikan pun disamaratakan. Padahal, sudah jelas bahwa setiap siswa berbeda
dalam menangkap materi yang diajarkan. Ibaratnya, mereka dituntut untuk
menempuh garis finish yang sama, tidak peduli meskipun mereka memulai dari
garis start yang berbeda-beda. Penyamarataan kemampuan siswa pada akhirnya akan
melahirkan suasana kompetisi.
Kompetisi
memang tidak sepenuhnya buruk jika dikelola dengan baik karena dapat memotivasi
siswa untuk berusaha lebih keras untuk mencapai target yang diharapkan. Tetapi,
tak jarang muncul suasana kompetisi yang tidak sehat. Sadar atau tidak sadar,
kompetisi akan menciptakan sebuah situasi di mana setiap orang yang terlibat di
dalamnya mengenal kata “musuh”. Menilik dari segi evaluasi hasil belajar,
kompetisi mengajarkan siswa untuk berlomba menjadi peringkat pertama.
Terkadang
melebihi kemampuan mereka sendiri. Bila mereka tidak mampu meraih standar yang
ditetapkan, akan timbul dampak negatif yang tidak diinginkan, antara lain
bertindak curang saat ujian atau siswa merasa tertekan karena takut dimarahi
orang tua jika gagal dalam ujian dan menyebabkan peringkatnya turun.
Ironisnya,
perengkingan juga dilakukan bukan saja setelah siswa melakukan proses belajar
namun sebelum masuk dunia pendidikan diharuskan test kepintaran. artinya, yang
bodoh tidak usah sekolah, sekolah itu untuk orang pintar saja. Lain halnya
dengan Jepang. Negeri Sakura tersebut tidak ada istilah test kecerdasan seperti
yang di lakukan di Indonesia. melainkan diwajibkan untuk test kesehatan. Karena
anak yang down syndrom pun masih bisa bersekolah dengan sekolah umum dan
diperlakukan sama rata.
Test
kesehatan yang dilakukan di Jepang bukan untuk menerima atau menolak seorang
calon murid, tetapi di tujukan untuk antisipasi dan mengetahui kelainan yang di
miliki seorang anak. Misalnya untuk test mata, jika ternyata ada gangguan
penglihatan, maka guru akan menyarankan memakai lensa korektif, sehingga pada
saat kegiatan belajar mengajar anak tidak lagi terganggu dengan matanya.Semua
sangat diperhatikan oleh pemerintah.
Sistem
pendidikan di Jepang tidak mengenal klasifikasi kelas berdasarkan tingkat
kecerdasan siswa (ada kelas unggulan, sekolah unggulan dan seterusnya, seperti
di Indonesia ). Semua kelas terdiri dari anak-anak dengan beragam tingkat
kecerdasan. Jepang juga tidak mengenal sistem pemberian ranking atau peringkat
kepada muridnya. Sehingga semua murid tak ada yang merasa lebih dari
teman-temannya atau sebaliknya.
Jepang
tidak jauh berbeda dengan negara Finlandia, dalam menerapkan sistem pendidikan.
Finlandia juga tidak mengenal namanya kompetisi. Tidak ada main peringkat,
ranking-ranking-an, juara 1 juara 2 dan seterusnya. Tidak ada daftar sekolah
terbaik atau guru terbaik di Finlandia. Tidak adanya persaingan pada pendidikan
publik di Finlandia sehingga guru yang terbaik tidak dapat ‘dicuri’ untuk
bekerja bagi sektor swasta. Mereka tidak mengukur prestasi hanya untuk memberi
label pada siswa.
Bahkan
bisa dibilang, Finlandia memandang kompetisi dalam lingkungan pendidikan
merupakan konsep yang destruktif. Mental anak-anak dapat dihancurkan oleh
evaluasi terus-menerus dan membuat anak-anak ini sendiri percaya bahwa mereka
tidak cukup baik. Bagi Finlandia, ketika anak-anak dapat unggul pada apa yang
mereka dapat lakukan dengan baik, bukan diukur untuk memenuhi standar, mereka
dapat menghasilkan performa yang terbaik.
Anak-anak
harus diberikan pendidikan sehingga mereka dapat berkembang terlepas dari bakat
mereka. Tujuan pendidikan di Finlandia, seyogianya dapat membentuk siswa
menjadi manusia yang lebih baik yang menghargai diri mereka sendiri dan dapat
bernavigasi dalam kehidupan tanpa berpikir bahwa mereka lebih ‘pintar’ atau
sebaliknya, tidak berharga. Bahkan siswa dengan development disorder ataupun
penyandang cacat lainnya diletakkan pada kelas yang sama dengan siswa umum
lainnya.
Jika
bisa dibandingkan atau dicontoh oleh "kita" sistem pendidikan dari
kedua negara maju tersebut di atas, setidaknya kita" tidak mengutamakan
hasil ujian semata, namun sistem yang lebih menghargai proses. Para peserta
didik dididik menguasai ilmu itu sendiri tanpa dibebani untuk mencapai skor
tertentu.
Setiap
orang diberikan penghargaan atas setiap capaian baik yang dia peroleh dan
mendapatkan perhatian dibagian yang masih perlu peningkatan tanpa perlu
dibandingkan dengan orang lain secara terbuka. Moralitas anak-anak didik dijaga
agar tetap jujur dan yakin dengan kemampuan diri sendiri.
Post a Comment